Oleh: Yudi Latif
Hajinews.id – Saudaraku, tradisi puasa terbit sebagai monumen tanda kemenangan/keselamatan yang menarik garis pemisah antara yang adil dan yang batil (furqan Badar).
Lantas, penyelamatan dan kemenangan apa yang telah kita raih yang membuat ibadah puasa itu punya kesan dan relevansi yang kuat dalam kehidupan saat ini? Inilah pertanyaan yang selama bulan Ramadhan patut direnungkan. Agar setiap bulan Ramadhan tiba, kita tidak terus-menerus dipermalukan oleh defisit amal dan pencapaian yang membuat ibadah puasa itu sekadar ritual komemoratif hampa makna.
Kepahlawan paling heroik dari komponen bangsa selama ini adalah perjuangan kaum papa (mustadhafin) untuk tetap tabah, tolong-menolong, dan giat bekerja di tengah impitan krisis dan keserakahan elit. Mereka bertahan hidup dengan menjalankan salah satu prinsip berzuhud: Tak terlalu berduka atas apa yang luput darimu (QS 57: 23). Merekalah yang pantas menyambut bulan suci Ramadhan sebagai tanda kemenangan.
Terhadap kaum elite yang berpesta pora di atas penderitaan rakyat, yang tak mampu menarik batas antara yang adil dan yang batil, bermentalitas pecundang dengan menjual kehormatan negeri secara murah, puasa seyogianya jadi momen “kremasi”. Pembakaran egosentrisme dengan jalan berzuhud menurut caranya tersendiri: Tidak terlalu gembira atas apa yang diberikan-Nya kepadamu (QS 57: 23).
Selain berzuhud, Tuhan hanya akan memberi kemenangan andai org-org yang diberi kedudukan di muka bumi mau bershalat (bertakwa kepada Allah) dan berzakat (memajukan kesejahteraan umum), mengembangkan perbuatan baik, dan mencegah perbuatan buruk dengan menegakkan hukum yang adil (QS 22: 41).
Alquran juga mengajarkan bahwa kekerasan tidaklah dikehendaki dan jika terpaksa digunakan untuk kepentingan bela diri, hal itu haruslah diakhiri secara segera. Tujuan bela diri tak lain untuk mengembalikan harmoni dan rekonsiliasi, bukan untuk melanggengkan permusuhan. Idealnya, tak perlu bertempur untuk mempertahankan hal-hal luhur.
Alhasil, kemenangan bisa dicapai jika keadilan ditegakkan, kesejahteraan dikembangkan, ketakwaan dihidupkan, dan kedamaian disuburkan. Ibadah puasa, selain sebagai peringatan atas momen kemenangan, harus juga menjadi momen refleksi dan pelatihan diri untuk meraih kemenangan sejati.