Hajinews.id – “Ya Rasul, Apakah sudah waktunya untuk Iqomat?” tanya Bilal kepada Rasulullah.
Rasulullah mengangguk.
Bilal pun Iqomat. Salat berjamaah dilakukan.
Rasulullah yang jadi Imamnya.
Tapi suatu hari kebiasaan bilal adzan dan Iqomat hanyalah menjadi kenangan. Kenangan yang membangkitkan kesedihan.
Sejak Rasulullah pergi, Bilal tak pernah adzan lagi.
Bilal sudah mencobanya tapi tak bisa.
Mulutnya tercekat, suaranya hilang ketika tiba di kata “Muhammad”
Tak tahan dengan segala kenangan. Bilal pun pergi meninggalkan Madinah.
Mungkin begitulah cara mengobati kesedihan.
Karena bukan kehilangan yang berat tapi kenangan.
Lama Bilal pergi. Hingga kepemimpinan berganti.
Dari Abu Bakar ke Umar. Umar rindu dengan adzan Bilal. Umar pun menemui Bilal yang kini telah tinggal di Syam.
Umar merayu Bilal agar kembali lagi dan adzan lagi.
Mata pria berkulit hitam, legam dan kekar itu berkaca-kaca.
Air mata deras menetes di pipinya. Dengan suara lirih dia berkata, “Aku tak bisa, Umar. Aku tak akan mampu melakukannya lagi.”
Umar sampaikan bahwa penduduk Madinah merindukan Bilal.
Mereka ingin sekali mendengarkan adzan Bilal.
Sekali lagi Bilal berkata lirih, “Aku tak akan sanggup Umar.” Air mata kian deras mengalir di pipinya. Sesekali, Bilal memejamkan mata. Dia tarik napasnya dalam-dalam.
“Tapi, muslim di Madinah sedang membutuhkanmu, Bilal.
Mereka ingin mendengarkanmu mengumandangkan adzan.
Mereka rindu suaramu.
Mereka rindu lantunan adzanmu, wahai muadzin Rasulullah!” kata Umar memohon.
Mata Bilal kian berkaca-kaca.
Dia menangkap harapan Umar yang begitu besar agar dia mau mengumandangkan adzan lagi di Madinah.
Apalagi Umar sampai menempuh jarak yang begitu jauh dari Madinah ke Syam.
Namun, berat bagi Bilal.
Dia tak sanggup menanggung rindu teramat dalam jika mengingat Madinah dan mengumandangkan adzan.
Bilal tak mampu menanggung rasa rindu terhadap Rasulullah yang teramat berat.
Rindu itu berat. Ya sangat berat bagi Bilal.
Umar pulang dengan tangan hampa.
Bilal tetap tak mau pulang ke Madinah. Malam hari dalam tidurnya Bilal mimpi bertemu dengan Rasulullah SAW. Dalam mimpi tersebut, Rasulullah menyapa Bilal, “Hai Bilal, mengapa engkau tak mengunjungiku? Mengapa sampai seperti ini?”
Bilal pun terbangun, tanpa berpikir panjang ia segera mempersiapkan perjalanan ke Madinah.
Sambil merasakan kerinduan yang teramat dalam dan besar, Bilal pergi untuk menziarahi makam Rasulullah SAW.
Di Raudhah, Bilal tak mampu lagi menahan haru. Dia menangis, rindu pada Rasulullah SAW, Lelaki yang telah meninggikan derajatnya.
Saat itulah datang dua pemuda yang mulai beranjak dewasa menemui Bilal bin Rabbah, yang matanya sembab karena tangis.