Saat salat lima waktu di Masjid Nabawi, kita akan berjumpa dengan umat Islam dari seluruh dunia yang sedang melaksanakan ibadah haji.
Keunikannya bukan itu, tetapi justru kita akan berjumpa dengan jamaah salat fardhu dari penduduk Madinah sendiri, baik dari usia anak-anak, remaja, dewasa, hingga kalangan kalangan tua.
Kehadiran jamaah warga Madinah ini banyak ditandai dengan pakaian khas Arab warna putih disertai sorban warna putih merah yang diletakkan di atas kepala.
Setiap selesai salat Ashar dan Maghrib, banyak anak-anak, remaja, dan dewasa yang belajar mengaji, atau menyetorkan hafalannya dihadapan seorang pengajar. Kemudian yang sering membuat saya iri, setiap sesama warga Madinah itu bertemu, setelah salaman, mereka saling berpelukan, seperti dua orang sahabat yang lama berpisah kemudian bertemu. Kadang ada juga yang saling menempelkan pipi.
Keunikan kedua di Masjid Nabawi adalah buka puasa bersama setiap Senin dan Kamis. Saya menjumpai hari Senin dan Kamis di Madinah masing-masing sekali.
Soal buka puasa bersama ini, sesungguhnya sudah lama viral. Banyak orang yang mengabarkannya. Namun saya ingin sekali merasakan sendiri, seperti apa bentuknya.
Pada kesempatan pertama, Senin (1/8/2022), saya terlambat datang ke masjid. Ketika azdan Maghrib berkumandang saya baru memasuki halaman masjid, karena baru saja selesai jalan-jalan di Kota Madinah, di antar Muhammad Hamam, keponakan teman Ustadz Anas Thohir, Ketua Rombongan KBIH Baitul Atiq.
Barulah pada kesempatan kedua, Kamis (4/8/2022) saya sengaja tidak ke mana-mana. Selesai salat Ashar saya niatkan untuk tetap di masjid hingga Maghrib.
Bahkan pada pukul 17.00 hingga 18.00 WAS saya masih sempat mengunjungi Raudhoh untuk kali kedua. Saat 30 menit sebelum adzan Maghrib, saya segera masuk Masjid Nabawi.
Ternyata di sisi kiri masjid, tempat saya biasa salat, tidak terlalu banyak hidangan untuk berbuka bersama. Saat itu masing-masing hidangan sudah ada orangnya. Saya pun memilih tempat agak di belakang orang-orang yang berbuka puasa. Apalagi saat itu saya juga sedang tidak berpuasa.
Belakangan saya ketahui dari Pak Imam Basori, jamaah haji yang merupakan teman sekamar di Mekah dan Madinah, bahwa yang penuh orang berbuka puasa itu berada di area sebelah kanan Raudhoh.
Diajak Buka Bersama
Selesai salat Maghrib saya berniat pulang ke ke hotel untuk makan malam, karena perut terasa lapar. Saat mendekati pintu keluar, saya sempat memotret jamaah yang masih ramai berada di Masjid.
Tiba-tiba dari jarak 10 meter ada seorang bapak, terlihat seperti orang setempat, melambai-lambaikan tangannya ke arah saya, mengisyaratkan agar saya mendekat. Tentu saja saya kaget. Belum pernah kejadian seperti ini sebelumnya.
Saya pun mendekat, ternyata saya diajaknya berbuka bersamanya. Saya ditawarinya teh dan kopi, lalu saya diberinya kurma, roti, dan keju. Saya pun menikmati sajian itu dengan lahap. Apalagi perut terasa lapar.
Khawatir aktivitas saya memotret tadi beliau tidak berkenan, saya sampaikan bahwa saya seorang jurnalis, sambil menunjukkan contoh berita yang saya tulis. Agaknya Bapak itu memahami apa yang saya sampaikan.
Selanjutnya saya pun saling berkenalan dengan bahasa Arab yang terbatas, tentu ditopang dengan bahasa tarzan.
Awalnya saya bertanya kepada anak remaja yang duduk bersamanya sedari awal, dia memperkenalkan diri bernama Abdul Aziz, usia 15 tahun. Sedangkan si bapak bernama Abdullah usia 61 tahun. Abdul Aziz menyampaikan kepada saya bahwa Sheikh Abdullah adalah seorang Ustadz (pengajar).
Setelah berbincang sebisanya dan makanan saya habis, saya pun berpamitan seraya menyampaikan terima kasih banyak kepada Sheikh Abdullah. Akhirnya saya pun tidak jadi pulang ke hotel untuk makan malam, melainkan tetap di Masjid Nabawi menunggu salat Isya. (*)