Oleh KH. Luthfi Bashori
Hajinews – Dalam pandangan Islam, bahwa tiada bencana yang lebih besar daripada bencana yang menimpa agama, yang mana disebutkan bahwa faktor penyebabnya adalah:
“Bencana agama itu ada tiga, yaitu: Ahli Fikih yang durhaka, Imam yang dzalim, dan Mujtahid yang bodoh.” (Riwayat Imam Ad-Dailami melalui shahabat Ibnu Abbas).
1. Dikatakan ‘Ahli Fiqih’ yang durhaka itu jika sering melanggar Syariat, sedangkan ia selalu menyampaikan fatwa-fatwanya namun disesuaikan hawa nafsunya, atau disesuaikan dengan selera pribadinyanya, maupun selera pihak yang memesannya. Padahal masyarakat menganggap apa yang difatwakannya itu selalu benar dan dikira berdasarkan nash-nash fiqih, padahal jauh api dari panggang, artinyta fatwanya itu melenceng dari aturan Syariat (Alquran, Hadits dan Ijma’ para ulama Salaf Aswaja). Contoh kongkrit misalnya banyak bermunculan figur-figur Kyai Abdi Gereja dan Kyai Slamet Natal.
2. Yang dimaksud ‘Imam Dzalim’ adalah seorang pemimpin yang bersikap sewenang-wenang terhadap rakyat yang dipimpinnya. Terutama jika berdampak negatif serta merugikan sektor keagamaan. Umumnya muncul imam dzalim itu karena memiliki sifat rakus dan syahwat yang menggebu terhadap kedudukan duniawi dengan segala fasilitasnya, demi memenuhi hawa nafsu serakahnya. Hingga kebutuhan rohani umat dianggap sebagai penghalang utama bagi keinginan besarnya, maka muncullah sifat islamophobia dalam lingkup kekuasaannya.
3. Sama bahayanya dengan orang bodoh agama yang mengaku sebagai ‘Mujtahid’, padahal ia sangat awam terhadap ajaran Syariat Islam. Jangankan sampai ke tingkat mujtahid yang sesungguhnya, untuk baca kitab karya para ulama Salaf saja masih belum mampu. Lantas ia menampilkan fatwa-fatwa dari hasil ‘ijtihadnya’ sendiri berdasarkan ilmu ‘otak-atik-matuk’ atau ‘cok galicok galagacok cocok’ (ilmu rekayasa yang sekedar dicocok-cocokkan semata). Kasus kongkrit seperti munculnya klaim sebagian orang, bahwa candi Borobudur dikatakan sebagai peninggalan kerajaan Nabi Sulaiman, dan masih banyak lagi yang lainnya.